Friday 5 June 2009

Review Novel Fiksi

“The Guy Next Door”

When Your Prince Charming Lying Next To Your Door, What Should You Do Next?




Judul Terjemahan : Pria Impian di Sebelah Rumah
Pengarang : Meggin Cabot
Tahun Terbit : 2003
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Indah S. Pratidina
Tebal : 560 halaman

Sinopsis Cerita
Melissa Fuller merupakan seorang wanita karir berusia 27 tahun yang tinggal di New York, Amerika Serikat. Ia bekerja sebagai seorang jurnalis penulis kolom gosip Page Ten di salah satu kantor penerbitan koran paling terkemuka, New York Journals. Sudah yang ke 37 kalinya Mel, begitu ia biasa dipanggil, terlambat datang ke kantor lebih dari 20 menit sepanjang tahun ini, begitulah yang dikemukakan email dari Human Resources Department New York Journals sebagai cerita pembuka.

Teman-temannya menjadi sangat khawatir, kemanakah perginya si Mel, gadis manis berambut merah yang selalu bersemangat menceritakan pernikahan Wynona Ryder, atau kabar-kabar terbaru seleb Hollywood lainnya, dan bertanya-tanya apa penyebab dia selalu datang terlambat.

Nadine Wilcock, sahabatnya yang juga merupakan rekan kerja Mel yang bekerja sebagai Food Critic di koran New York Journals, sampai tak henti-hentinya mengirim email kepada Mel supaya Mel menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Begitu juga atasannya, George Sanchez selaku Managing Editor, yang menanyakan keberadaan Mel hanya supaya ia dapat mengejar deadline kolom-kolom gosip terbaru tulisan Mel untuk edisi besok.

Belum lagi, Dolly Vargas, rekan kerja Mel yang bekerja sebagai Style Editor, yang selalu mencampuri urusan orang dengan mengirimkan email yang berisi saran-sok-tahu –padahal Mel tak pernah bercerita padanya–, dan menunjukkan sikap sok-perhatian-banget yang sangat membuat risih Mel. Semua itu merupakan upaya yang untuk menarik perhatian Aaron Spender, sang Chief Correspondent, yang juga mantan pacar Mel, yang sayangnya masih mencintai Mel dan giat mengirim email permohonan agar Mel mau kembali berpacaran dengannya.

Akhirnya, Mel pun membalas email teman-temannya dan mengungkapkan apa yang sebenarnya dia alami sehingga selalu datang terlambat. Pada suatu pagi, seperti pagi hari lainnya, ia bangun dan bersiap untuk berangkat kerja. Namun, ternyata pagi itu merupakan pagi hari paling tidak biasa bagi Mel. Suara gonggongan anjing peliharaan Mrs. Friedlander, tetangga sebelah kamar apartemennya, membuat Mel penasaran. Ia masuk ke dalam kamar yang pintunya tidak terkunci dan mendapatkan Mrs. Friedlander tergeletak dengan kepala berdarah-darah. Ia pun segera memanggil polisi dan ambulans.

Setelah kejadian itu, Mrs. Friedlander divonis koma dan harus dirawat di rumah sakit sampai keadaannya sembuh. Sayangnya, berhari-hari tanpa Mrs. Friedlander membawa dampak tersendiri bagi Mel. Ia –yang memang susah untuk menolak binatang untuk dirawat– akhirnya mengajak Paco, anjing Mrs. Friedlander, jalan-jalan tiap pagi, atau mengurus kedua kucingnya yang lain, Mr. Peepers dan Twedleedum. Itulah sebabnya mengapa ia selalu datang terlambat.

Masalah mulai datang ketika Nad dan teman-temannya tidak setuju bahwa Mel yang jadi kena getahnya gara-gara kejadian tersebut. Mel memang sudah terpikirkan seseorang yang lebih wajib melakukan hal tersebut dari pada dirinya, yakni keponakan Mrs. Friedlander yang juga satu-satunya kerabat dia, Maxwell Friedlander. Mel pun mulai mencari-cari informasi dimana keberadaan Max.

Dari Dolly-lah Mel tahu alamat email Max, dan Mel mengirimkan pesan bahwa Mrs. Friedlander sedang dalam keadaan koma, dan Max harus segera datang ke apartemennya untuk mengurus beberapa binatang peliharaannya dan juga apartemennya.

Max Friedlander, seorang fotografer yang terkenal lewat foto-foto sensual para supermodel hasil karyanya, kalang kabut saat membaca email tersebut. Saat itu, ia sedang ‘bersembunyi’ bersama seorang supermodel yang paling terkenal tahun lalu, Vivica, dan berlibur di suatu tempat. Ia pun meminta John Trent, seorang temannya yang ia kenal ketika kuliah, untuk membantunya dalam masalah ini.

John Trent merupakan seorang wartawan kriminal berusia 35 tahun, yang bekerja di New York Chronicles, perusahaan penerbit koran yang bersaing ketat dengan New York Journals. Sebenarnya John merupakan keturunan keluarga Trent, salah satu keluarga pemilik perusahaan saham terkaya di AS. Namun ia ingin lepas dari bayang-bayang keluarganya, terutama neneknya, dan bersikukuh hidup secara mandiri sebagai wartawan kriminal dan tidak berminat menyentuh harta keluarganya. Pada mulanya, John tidak mau menerima permintaan Max yang sangat keterlaluan itu. Namun setelah Max mengancam suatu rahasia kelam di masa lalu John, akhirnya ia terpaksa melakukan apa yang disuruh oleh Max.

Berhari-hari Mel menunggu datangnya kabar dari Max. Akhirnya, di suatu pagi, ia membuka pintu kamarnya dan bertemu dengan Max. Max yang dilihatnya bukanlah Max yang banyak diceritakan orang-orang –kasar, urakan, playboy, fotografer porno, rambut gondrong, jarang mandi, dan semacamnya itu– melainkan Max yang baik, sopan, menyenangkan, dan sama sekali bukan perayu. Max ini pun menetap di apartemen Mrs. Friedlander dan mengurus binatang peliharannya selam Mrs. Friedlander masih koma.

Max ini pernah berkata pada Mel agar memanggilnya ‘John’ –merupakan nama julukan yang sudah melekat pada dirinya sejak kuliah, begitu akunya– dan tanpa kecurigaan apa-apa, Mel pun memanggilnya John dan bahkan memperkenalkannya pada rekan-rekan kerjanya. Nad, sahabatnya, mulai mencium sedikit keganjilan, ‘John’ lebih merupakan sebuah nama daripada julukan, tulisnya dalam sebuah email kepada Mel.

Mel mengacuhkan semua asumsi-asumsi yang ada dan ia malah semakin dekat dengan tetangga barunya ini. Romantisme pun bergulir di antara keduanya. Mereka mulai sering pergi menonton bioskop dan makan malam bersama. Bahkan saat Mel sakit, John selalu menemaninya, membelikannya makan dan membawa kaset video untuk ditonton bersama di rumah. Mel pun mulai berbahagia. Baginya, tetangga barunya ini merupakan pria impian yang selama ini ia cari: baik, tinggi, tampan, berambut cokelat, dan yang pasti sama-sama menyukai cerita misteri kriminal dan kerusakan akibat bencana alam –seperti sinkhole yang terjadi di depan kantor New York Chronicle.

Namun begitu, di sisi lain, John mengalami dilema yang menakutkan. Konflik batin terjadi pada diri John. Ia yakin, seyakin-yakinnya, telah jatuh cinta pada Mel dan hendak melamarnya, tetapi hal ini tidak akan mungkin terjadi jika ia belum mengatakan sesuatu hal yang paling urgent yang sebenarnya terjadi. Ia harus segera bertindak, namun ia masih belum tahu ia harus berbuat apa.

John sebenarnya belum begitu terlambat saat ingin mengungkapkan yang sebenarnya pada Mel. Namun, Mel sedikit lebih awal mendapatkan sesuatu kenyataan yang membuatnya shock. Sosok pria impian pun runtuh seketika dan membuat Mel menjadi sangat kecewa terhadap John. Apakah yang sesungguhnya terjadi? Apakah sebenarnya yang dirahasiakan oleh John? Apakah Mel akhirnya mengetahui yang sebenarnya? Apa yang akan dilakukan Mel seandainya ia benar tahu apa yang terjadi sesungguhnya, -sesuatu yang dahsyat sebagai upaya balas dendam mungkin, atau malah menerima dan memaafkannya-?
Isn’t it so dilemmatic, ‘When your prince charming lying next to your door, what should you do next?’ So, just figure it out!

Review Buku
Meggin Cabot telah berhasil membawa sebuah terobosan baru dalam dunia penulisan novel fiksi bergenre drama romantis melalui novel Chicklit (Chick Literature, -red.) terbarunya ini. Dengan memanfaaatkan teknologi –yang pada saat itu sedang booming– berupa email (electronic mail), penulis menjalin alur cerita dan kisah novel ini dalam rangkaian email, dari halaman pertama sampai halaman terakhir.

Inilah keunikan dari novel Chicklit ini, pembaca dibawa tenggelam dari satu email ke email lain, yang ditulis oleh para tokoh untuk menjalin kisah dan komunikasi yang membentuk suatu alur cerita. Pembaca akan mereka sendiri adegan yang terjadi, karena kisahnya tidak diceritakan secara gamblang dalam tiap paragrafnya, tetapi lebih kepada persepsi tiap tokoh yang menceritakan kembali aktivitas dan konflik yang terjadi melalui tulisan dalam email. Selain itu, dialog antar tokoh yang terjadi tidak berbentuk komunikasi verbal dan tidak secara langsung. Gaya bercerita yang disajikan pun santai, ngepop, dan penuh humor konyol, namun tetap berisi pesan kebajikan yang sangat inspiratif.

Namun begitu, pembaca yang mudah bosan akan menolak mentah-mentah jika membaca novel ini. Hal ini dikarenakan dari halaman pertama, menuju konflik, sampai kisah ini selesai, semuanya dijabarkan dalam bentuk email. Pembaca harus mengulang kembali membaca email dengan titel dari, untuk, dan judul agar tetap bisa menyimak jalan ceritanya dengan baik. Misalnya John mengirim email dengan dua nama email yang berbeda agar apa yang ia rahasiakan tidak ketahuan. Ketika mengirim email kepada Mel, ia akan mengirim sebagai berikut:
 To: Mel Fuller
 From: jerrylives@freemail.com
 Subject: Vermont

Namun ketika ia mengirim email kepada saudara kembarnya, Jason Trent, kakak iparnya, Stacy Trent, atau rekan-rekannya, ia akan mengirim dengan nama John Trent bersama subjek cerita dalam emailnya. Jika saja pembaca tidak cermat memerhatikan nama pengirim, untuk siapa, dan subjek ceritanya, maka bisa dipastikan akan kebingungan mengikuti alur ceritanya. ‘Ini dari siapa sih, buat siapa, bicarain tentang yang mana?’ mungkin itu sedikit tanda tanya yang berkelebat dalam batin pembaca.

Secara keseluruhan, novel ini tampak beda dari novel drama romantis lainnya. Selain formatnya yang menggunakan email sebagai sarana bercerita, unsur misteri dan teka-teki pun membumbui kisah kehidupan Mel Fuller dengan tetangganya ini. Cerita sengaja dibuat sedikit kompleks dengan adanya pemukulan Mrs. Friedlander –yang pada mulanya ditetapkan sebagai kasus percobaan pembunuhan oleh penjahat pesolek. Namun selanjutnya akan ditemukan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi, seperti pelaku percobaan pembunuhan Mrs. Friedlander yang sebenarnya dan motif-motif yang terkait di dalamnya.

Perspektif Psikologis
Review buku ini akan dibuat terkesan lebih scientific dengan ditambahkan penjelasan melalui sudut pandang bidang ilmu tertentu. Dalam hal ini, digunakan perspektif psikologis sebagai kaca mata untuk mengupas nilai (value) yang ada di dalam novel ini.

Latar belakang dan setting tempat dalam novel ini menggunakan kota New York, sebuah kota besar dengan julukan ‘never sleep city’. Kota New York juga terkenal dengan penduduknya yang individualis dan hal ini disinggung pula dalam novel ini. Mereka hidup sendiri-sendiri, acuh tak acuh terhadap sekitar, dan hanya butuh jika ada keperluan tertentu. Menurut Psikologi Sosial, keadaan masyarakat seperti ini menjadikan daya kompetitif antar sesamanya tinggi. Terdapat perilaku antisosial yang tinggi, dimana individu telah mengetahui norma-norma sosial yang berlaku, namun malas atau acuh untuk melaksanakannya.

Hal ini terlihat dari ketidakpedulian warga sekitar apartemen Mrs. Friedlander saat ia terkapar sekarat di ruangannya, padahal anjingnya, Paco, menyalak semalaman. Gonggongan ini ternyata membangunkan gadis tetangga sebelah kamarnya, yakni Mel. Tak disangka, ia memang benar gadis yang berbeda, begitu menurut sahabatnya, Nad, dan pacar sahabatnya, Tony. Mana ada orang yang peduli dengan tetangganya, bahkan hewan peliharaannya, di kota individualis ini. Kecuali satu, ternyata. Ya, Mel itu sendiri, ungkap mereka heran pada email-email mereka.

Hal ini tidak bisa terlepas dari karakter dan kepribadian Mel, dimana salah satu fator pembentuknya adalah latar belakang lingkungannya. Dahulu, Mel tinggal di sebuah kota kecil bernama Lansing di Illinois. Ia mengungkapkan dalam email yang dikirimnya ke Nad, Tony, dan John, bahwa di kota tempatnya besar itu, warganya sangat peduli dengan binatang. Bahkan Mel tahu kucing pun bisa terkena diabetes –sayangnya ini benar terjadi pada salah satu kucing Mrs. Friedlander, Tweedledum.

Mel pun tumbuh dengan sifat penyayang. Ternyata hal ini terpancar pula keluar, ke teman-teman kerjanya, sehingga ia pun sangat disayangi oleh para rekan kerjanya, begitulah yang tersirat dari email teman-temannya. Banyak email yang dikirim langsung kepada Mel –atau bahkan perbincangan antar teman tanpa sepengetahuan Mel– namun itu semua sebagai bentuk perwujudan rasa perhatian dan sayang teman-teman kepada Mel. Ia selalu mempunyai teman-teman yang setia mendampinginya, Nad, Tony, bahkan Dolly si tukang gosip. Salah satu buktinya, saat ia kembali dari masa skors dan sakitnya, teman-temannya mengadakan Welcome Party untuknya di kantor.

Lalu bagaimana dengan John Trent? Karakter pria ini jika dilihat dari tipe kepribadian Eneagram (Baron & Wagele, 1995), merupakan tipe kepribadian Pejuang. Tipe 8 Pejuang ini dimotivasi oleh kebutuhan untuk mengandalkan diri sendiri dan kuat, member pengaruh pada dunia, serta terhindar dari kesan lemah. Atas kemauannya sendiri, John bersikeras meninggalkan trah keluarga Trent dan mengandalkan dirinya sendiri demi hidup sesuai perjuangannya sendiri. Melalui liputan dan kolom kriminal yang ditulisnya, ia berharap dapat berkontribusi pada dunia.

Sayangnya, John terlalu menghindar dari kesan lemah. Max Friedlander berhasil masuk ke celah pribadi John, yakni memanfaatkan John dengan dalih mengih utang masa lalu. John yang awalnya tidak bisa menolak akhirnya menyanggupinya supaya ia tidak terlihat sebagai pria yang lemah, yang tidak bisa melakukan apa-apa. Dalam setiap emailnya yang dikirim ke saudara kembarnya, Jason Trent, mulanya ia tidak ingin menunjukkan bahwa ia orang yang lemah. Namun setelah masalah datang bertubi-tubi dan ia mengalami konflik batin, akhirnya ia meminta saran pada Jason dan kakak iparnya yang baik, Stacy Trent.

Sebenarnya, masih banyak lagi bahasan yang dapat diangkat dalam perspektif psikologi. Namun, jika terus dijabarkan, sepuluh gulungan perkamen pun masih belum cukup untuk menampungnya. Pada akhirnya, novel ini ibarat bumbu yang bisa menciptakan cita rasa berbeda, saat kau sedang butuh cerita romantis pelipur lara, atau bahkan ketika kehidupan seorang wanita-yang-mencari-pria-impiannya ini sedikit banyak sesuai dengan cerita kehidupanmu.

No comments:

Post a Comment