Friday 5 June 2009

Review Film Non-Fiksi >
Diangkat dari Kisah Nyata
Pengalaman Masa Lalu Augusten Burroughs

Running with Scissors

What you get on your past life will run 'till now

Sutradara : Ryan Murphy
Pemain : Joseph Cross, Brian Cox, Annette Bening, Joseph Fiennes, Evan Rachel Wood, Gwyneth Paltrow, Jill Clayburgh
Durasi : 120 menit
Tahun Rilis : 2006
Genre : Based on True Story, Drama, Psychological Cases

Review Film & Sinopsis Cerita
Film “Running with Scissors” ini menceritakan tentang beberapa tokoh yang saling berhubungan dengan permasalahan yang sama, yakni masalah psikologis, dan dengan satu sosok yang sama, yakni seorang Psikiater atau Dokter Ahli Jiwa. Cerita dalam film ini diangkat dari memori masa kecil Augusten Burroughs yang kelabu. Ia adalah seorang anak yang terlahir dalam keluarga yang kurang harmonis. Ibunya, Deirdre, adalah seorang wanita yang memiliki obsesi berlebih untuk menjadi penyair terkenal. Ia mengalami depresi berat pada kehidupannya yang kacau dan membuatnya selalu merasa tidak bahagia. Sedangkan ayahnya, Norman, adalah sosok yang workaholic dan alcoholic. Sesungguhnya, ia sayang pada Augusten dan Deirdre, namun ia tidak menunjukkannya. Hal ini membuat ia terlihat tidak mempedulikan mereka. Setelah orang tuanya bertengkar hebat di suatu malam, Deirdre memanggil seorang Psikiater ke rumahnya. Inilah awal mula dari kisah hidup Augusten yang tidak akan pernah ia duga sebelumnya.

Psikiater itu bernama Dr. Finch. Menurut perkiraan, ia berumur kurang lebih 60 tahun dengan rambut dan brewoknya yang sudah memutih. Pada awal cerita, Dr. Finch datang ke rumah pasiennya –yakni Deirdre yang sedang cemas dan emosional– untuk melakukan konsultasi. Dalam sesi itu, Dr. Finch memberikan sebutir pil. Ia menyebutnya sebagai valium, untuk menenangkan syaraf. Ternyata hal ini menjadi salah satu cara khas Dr. Finch saat melakukan terapi bagi pasiennya. Hal ini terlihat pada sesi-sesi terapi-konsultasi berikutnya yang harus Deirdre jalani. Selanjutnya, Dr. Finch kembali menjadwalkan sesi terapi-konsultasi bagi Deirdre –bersama Norman dan Augusten– di kantor tempat Dr. Finch praktik. Namun di sesi berikutnya, Dr. Finch terpaksa memindahlokasikan tempat praktik psikiatrinya, sehingga para pasiennya harus datang ke rumahnya bila ingin berkonsultasi. Begitu pun yang terjadi pada Deirdre. Ia –bersama dengan Augusten– datang ke rumah Dr. Finch di suatu siang. Deirdre menjalani sesi terapi-konsultasi dengan Dr. Finch seperti biasanya. Sedangkan Augusten menghabiskan waktunya dengan keluarga Finch yang aneh. Setelah sesi konsultasi hari itu selesai, ibunya memutuskan agar Augusten tinggal bersama keluarga Dr. Finch. Akhirnya, Augusten terpaksa tinggal dengan Dr. Finch, Agnes, istrinya, dan kedua anak perempuannya, Natalie dan Hope. Momen ini menjadi sebuah awal mula bagi kehidupan remaja Augusten dimana ia harus menghadapi berbagai konflik dan terlibat dengan orang-orang yang saling berhubungan dalam satu permasalahan dengan si Psikiater, Dr. Finch.

Dr. Finch memiliki beberapa orang pasien. Salah satunya adalah Deirdre, ibu Augusten, yang telah diceritakan sebelumnya. Depresi yang dialami Deirdre telah sampai pada tahap akut. Berkali-kali terapi yang dijalankan dengan Dr. Finch tak kunjung membuahkan hasil. Dr. Finch hanya memberinya pil valium terus menerus. Deirdre juga mengalami delusi yang berlebihan, contohnya ia membayangkan dirinya tampil di panggung sebagai penyair ternama. Masalah Deirdre bertambah akut saat ia harus dibawa ke Rumah Sakit Jiwa karena histerianya yang berlebihan. Deirdre pun divonis menderita schizophrenia ringan.

Pasien Dr. Finch lainnya adalah Neil Bookman, 35 tahun. Ia adalah seorang pria yang mengalami gangguan kejiwaan dimana ia sulit untuk mengendalikan amarahnya. Ia merupakan anak asuh Dr. Finch semasa kecilnya, namun pergi setelah ia berusia 13 tahun. Saat sesi konsultasi berlangsung, ia selalu mengamuk dan membanting barang-barang di ruang praktik Dr. Finch. Neil ternyata merupakan pria yang homoseksual. Ia dipertemukan dengan Augusten oleh Natalie –anak perempuan Dr. Finch– karena Augusten pernah mengaku pada Natalie bahwa ia juga homoseksual. Neil dan Augusten semakin akrab setelah mengetahui ‘diri’ dan kesamaan latar belakang kehidupan keluarga masing-masing. Mereka pun menjalin ‘hubungan’ yang tidak lazim.

Karena hubungan abnormal tersebut, Augusten pun dipanggil oleh Dr. Finch. Ia harus melewati sesi konsultasi dengan Dr. Finch. Dr. Finch melakukan konfrontasi dengan Augusten dan menyatakan bahwa Neil bukanlah pria yang stabil. Selanjutnya, Dr. Finch menawarkan obat anti kecemasan ringan dan menjamin akan membantu Augusten merasa lebih tenang.

Selain itu, Dr. Finch juga memiliki pasien bernama Dorothy Ambrose, seorang wanita muda Afro-Amerika dengan dandanan gipsi. Dr. Finch mempertemukan Deirdre dengan Dorothy, karena menurutnya Deirdre membutuhkan seseorang yang bisa menyuburkan bakat menyairnya dan Dorothy adalah pilihan yang tepat. Ternyata, hubungan yang semula dianggap sebagai ibu-anak berubah menjadi ‘hubungan’ abnormal, karena keduanya sama-sama lesbian.

Selama sesi konsultasi yang dihandle oleh Dr. Finch dari waktu ke waktu dan dari tiap pasien ke pasien lain, ada beberapa hal yang terlihat jelas. Pertama, bahwa Dr. Finch selalu memberikan saran-saran yang sangat kontroversial yang seharusnya tidak ia sampaikan pada pasiennya. Contohnya, pada sesi konsultasi sesaat setelah Deirdre berpisah dengan suaminya. Dr. Finch membuat statemen bahwa Norman, suami Deirdre, mungkin mau membunuhnya dan ini juga disampaikan pada Augusten. Hal ini menyebabkan Deirdre mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan meninggalkan Augusten untuk diserahkan pada keluarga Finch.

Kedua, Dr. Finch selalu memberikan pil valium pada pasiennya, baik di dalam maupun di luar jadwal konsultasi. Misalnya kepada Deirdre. Setiap merasa stress, Deirdre akan mengkonsumsi pil valium tersebut. Hal ini tentunya membuat Deirdre menjadi ketergantungan. Setiap ia sedang berada di bawah pengaruh obat tersebut, Deirdre mengalami ketenangan –baik dalam berbicara maupun berperilaku– yang tidak wajar.
Ketiga, Dr. Finch selalu menerapkan metode terapi yang sama pada tiap pasiennya padahal tipikal kasus mereka berbeda-beda. Contohnya, saat sesi terapi-konsultasi Deirdre. Dr. Finch mengatakan bahwa Deirdre selama ini menahan amarahnya. Ia berkata, “Teriaklah. Ungkapkan rasa sakitmu.” Ternyata hal ini terjadi pula pada Neil yang juga menjalani sesi terapi-konsultasi sesaat sebelum Deirdre. Selanjutnya untuk kasus yang keempat dan seterusnya akan dikupas dalam bab pembahasan setelah ini.

Perspektif Psikologi
Kasus-kasus psikologis menjadi sorotan yang utama dalam dalam film “Running with Scissors” ini. Namun yang ingin difokuskan dalam pembahasan makalah ini adalah bagaimana bentuk penanganan kasus-kasus psikologis tersebut oleh ahli psikologis bernama Dr. Finch, sekaligus bentuk-bentuk penyimpangannya. Sebagai informasi, dalam melakukan penanganan atau memberikan terapi-konsultasi bagi para pasiennya, Dr. Finch melakukan beberapa penyimpangan. Untuk melihat lebih jelas bagaimana penanganan tersebut bisa disebut menyimpang, diperlukan perbandingan atau komparasi antara bentuk penanganan Dr. Finch tersebut dengan standar atau legalitas yang ada. Standar yang menjadi acuan kali ini adalah kode etik Psikologi dari American Psychologist Association (APA) dan dari Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi). Kode etik dari kedua institusi tersebut mengandung standar-standar yang menjadi penuntun bagi segala bentuk penanganan-penanganan kasus psikologi. Untuk itu, bentuk penyimpangan dari penanganan tersebut patut dibedah sesuai kode etik yang ada. Berikut ini merupakan beberapa poin yang didapat dari kasus penanganan Dr. Finch dan penyimpangannya terhadap kode etik APA dan HIMPSI.

I. KODE ETIK DARI AMERICAN PSYCHOLOGIST ASSOCIATION (APA): ANTARA KONSEP DAN PEMBAHASAN KASUS Dr. FINCH

A. KONSEP MENGENAI KODE ETIK APA (2002)
American Psychologist Association (APA) ‘Ethical Principles Of Psychologists and Code Of Conduct’ atau Prinsip Etik Psikolog dan Kode Aturan dari APA (selanjutnya disebut sebagai Ethics Code atau Kode Etik) berisi Introduction (Pendahuluan), Preamble (Pembukaan), 5 General Principles A – E (Prinsip Umum), dan Ethical Standards (Standar Etika) yang spesifik. Pendahuluan membahas mengenai tujuan, pengaturan, prosedur, dan aplikasi dari kode etik. Pembukaan dan Prinsip Umum merupakan tujuan yang aspirasional untuk mengarahkan Psikolog pada harapan tertinggi ilmu Psikologi. Kode etik ini ditunjukkan untuk menyediakan arahan bagi Psikolog dan standar bagi perilaku profesional yang dapat diterapkan oleh APA dan organisasi lain yang mengadopsinya.

American Psychologist Association (APA) mengeluarkan kode etiknya yang pertama pada tahun 1953. Kemunculan kode etik ini berhubungan dengan peningkatan Psikologi sebagai sebuah ilmu dan profesi yang professional pada saat itu (Fisher, 2003). Sejak tahun 1953, sebanyak 9 edisi revisi kode etik telah dipublikasikan, termasuk edisi yang terbaru telah diterbitkan pada tahun 2002. Hingga saat ini, kode etik Psikologi tersebut tidak hanya berlaku untuk bidang Psikologi Klinis saja, tetapi juga untuk bidang-bidang Psikologi lainnya. Beberapa guideline secara khusus berhubungan dengan aktivitas profesional para Psikolog Klinis yang banyak berlaku, seperti terapi, asesmen, riset/penelitian, dan pendidikan.

American Psychologist Association Ethical Code atau Kode Etik APA berisi dua bagian yang berbeda: General Principles (Prinsip Umum) dan Ethical Standards (Standar Etik). Setiap bagian tersebut mengarahkan Psikolog pada perilaku yang etis dalam berbagai cara.

General Principles atau Prinsip-prinsip Umum bersifat aspiratif. Dengan kata lain, hal tersebut menjelaskan kondisi ideal atas penggunaan etis atau bagaimana Psikolog harusnya mengendalikan diri mereka masing-masing. Prinsip umum ini tidak termasuk definisi spesifik atau kekerasan etika; melainkan penjelasan yang luas mengenai perilaku etis. Ada 5 prinsip dalam General Principles (Tabel 1).

Tabel 1. American Psychological Association Ethical Principles
No. Ethical Principle Sample Sentence from Description in Ethical Code
1. Beneficence
and Non-maleficence “Psychologists strive to benefit those with whom they work and take
care to do no harm.”
2. Fidelity
and Responsibility “Psychologists establish relationships of trust with those with
whom they work. They are aware of their professional and scientific
responsibilities to society and to the specific communities in
which they work.”
3. Integrity “Psychologists seek to promote accuracy, honesty, and truthfulness
in the science, teaching, and practice of psychology.”
4. Justice “Psychologists recognize that fairness and justice entitle all persons
to access to and benefit from the contributions of psychology
and to equal quality in the processes, procedures, and services
being conducted by psychologists.”
5. Respect
for People’s Rights
and Dignity “Psychologists respect the dignity and worth of all people,
and the rights of individuals to privacy, confidentiality, and
self-determination.”
SOURCE: American Psychological Association, 2002.

Ethical Standards atau Standar-standar Etika berisi aturan atau perintah yang dapat dilaksanakan. Jika Psikolog ditemukan bersalah atas kekerasan etika, ada sebuah standar (bukan prinsip) yang dilanggar. Standar ini tertulis cukup luas untuk mencakup rentang aktivitas Psikolog yang luas, tetapi meskipun begitu standar tersebut lebih spesifik daripada General Principles. Meski General Principle dapat menjabarkan secara jelas tiap tugas yang dilakukan Psikolog, setiap standar etika dapar secara rinci menampakan aspek utama tiap aktivitas professional. Standar Etika ini dibagi dalam 10 kategori dan termasuk 89 standar secara individual (Tabel 2).

Tabel 2. Categories of American Psychological Association Ethical Standards
No. Ethical Standards
1. Resolving Ethical Issues
2. Competence
3. Human Relations
4. Privacy and Confidentiality
5. Advertising and Other Public Statements
6. Record Keeping and Fees
7. Education and Training
8. Research and Publication
9. Assessment
10. Therapy
SOURCE: American Psychological Association, 2002.

Pada bahasan kali ini akan difokuskan pada beberapa standar yang paling relevan bagi Psikolog Klinis. Melalui banyak diskusi, sangatlah penting untuk mengingat bahwa kode etik harus dipahami tidak hanya sebagai sekumpulan daftar aturan yang harus diikuti dan kesalahan-kesalahan haruslah dihindari, tetapi juga sebagai sebuah sumber inspirasi bagi perilaku yang etis atas kewajiban yang mulia. Psikolog dengan pendekatan postitif terhadap etika akan berusaha untuk menjadi kompeten sebagaimana yang mampu dilakukannya (contoh: kursus tambahan, supervisi ekstra, self-study, self-care).

Ethical Principles Of Psychologists and Code Of Conduct APA 2002 dapat lebih jelas dilihat pada halaman LAMPIRAN.

B. PEMBAHASAN KASUS Dr. FINCH BERDASARKAN KODE ETIK APA
1. Berdasarkan ‘Ethical Standards APA’ Nomor 1 mengenai ‘Resolving Ethical Issues’ poin poin kedua ‘Conflicts Between Ethics and Law, Regulations, or Other Governing Legal Authority’, jika Psikolog atau Terapis mengalami masalah antara tanggung jawab etika dengan hukum, peraturan, atau keputusan pemerintah lainnya, Psikolog atau Terapis harus paham komitmen mereka terhadap Kode Etik itu sendiri dan mengambil langkah untuk menyelesaikan konflik. Namun, jika konflik tak dapat diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog atau Terapis harus mengikuti persyaratan hukum, peraturan, atau keputusan pemerintah lainnya yang berlaku. Konflik yang terjadi adalah permasalahan tempat praktik dan perpanjangannya yang resmi antara Dr. Finch dengan petugas pemerintahan IRS. IRS berwenang menyita tempat tinggal atau rumah Dr. Finch yang digunakan sebagai tempat praktik psikiatrinya. Dr. Finch mengambil langkah ‘instan’ untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan membayar petugas IRS sebesar $ 75.000 agar rumahnya tidak menyita izin dan rumah tempat praktiknya. Mirisnya, uang tersebut adalah hak putri keduanya, Natalie, untuk dana kuliahnya. Yang dilakukan oleh Dr. Finch ini jelas menyimpang, karena ia tidak mengikuti persyaratan hukum, peraturan, atau keputusan pemerintah lainnya yang berlaku. Padahal, jika Dr. Finch mengurus masalah rumah dan izin praktiknya dengan serius dan sesuai prosedur, ia tidak akan mengalami masalah yang berlarut-larut.

2. Masih senada dengan standar yang pertama ‘Resolving Ethical Issues’, poin ke enam menjelaskan ‘Cooperating With Ethics Committees’ dimana Psikolog atau Terapis berkooperasi dalam menginvestigasi etika-etika, memproses, dan menghasilkan persyaratan yang sesuai dalam asosiasi yang ia ikuti. Kegagalan untuk berkooperasi itu sendiri adalah sebuah pelanggaran etika. Sedangkan permasalahan yang jelas terjadi pada kasus Dr. Finch dijelaskan pada akhir cerita. Ia kehilangan izin praktiknya setelah American Medical Association (AMA) mendapati ia bersalah atas tuduhan penipuan asuransi. Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa Dr. Finch telah melakukan pelanggaran etika.

3. Berdasarkan ‘Ethical Standards APA’ Nomor 2 mengenai ‘Competence’ poin pertama mengenai ‘Boundaries of Competence’ disebutkan bahwa Terapis menyediakan pelayanan, pengajaran, dan melakukan penelitian dengan masyarakat hanya berdasarkan batasan kompetensinya saja, berdasarkan pendidikan mereka, training, pengalaman supervisi, konsultasi, belajar, atau pengalaman profesional. Dr. Finch jelas tak diragukan lagi kompetensinya sebagai terapis –setidaknya itulah yang dipercaya oleh Deirdre sebagai pasiennya– karena ia merupakan lulusan Yale University, AS. Namun pada praktik-praktiknya selanjutnya, ia tidak memaknai kompetensi yang ia miliki tersebut. Hal ini terlihat dari metode terapi yang sama pada tiap pasiennya padahal tipikal kasus mereka berbeda-beda. Contoh kasusnya, saat sesi terapi-konsultasi Deirdre Burroughs, ibu Augusten Burroughs. Dr. Finch mengatakan bahwa Deirdre selama ini menahan amarahnya. Ia berkata, “Teriaklah. Ungkapkan rasa sakitmu.” Ternyata hal ini terjadi pula pada pasiennya yang lain, Bookman Neil, yang juga menjalani sesi terapi-konsultasi sesaat sebelum Deirdre. Padahal untuk Dr. Finch yang sudah memiliki banyak pengalaman profesional dalam terapi-konseling, seharusnya ia lebih paham mengenai karakteristik psikologis tiap pasiennya, mengenai masalah yang terjadi, bagaimana metode terapi yang tepat, dan penyelesaian masalah tersebut.

4. Masih dalam bahasan kompetensi dalam ‘Ethical Standards APA’ Nomor 2 mengenai ‘Competence’ dan pasal di dalamnya yang membahas kompetensi yang seharusnya yang pantas dimiliki oleh Terapis. Salah satunya adalah memberikan pelayanan kesehatan mental yang pantas bagi individu, berdasarkan kompetensi mereka dengan syarat mengutamakan kesejahteraan klien/pasiennya tersebut. Namun dalam praktik pelayanan kesehatan mental Dr. Finch, terdapat satu kesalahan besar yang fatal. Dr. Finch selalu memberikan pil valium pada pasiennya dan pada tiap penanganannya, baik di dalam maupun di luar jadwal konsultasi. Misalnya kepada Deirdre. Pada awal sesi terapi yang paling pertama saja, Deirdre sudah diberi pil valium dengan alasan untuk menenangkan saraf. Ternyata penanganan dengan memberikan pil valium membuat pasien ketergantungan. Setiap merasa stress, Deirdre akan mengkonsumsi pil valium tersebut. Dan setiap ia sedang berada di bawah pengaruh obat tersebut, Deirdre mengalami ketenangan –baik dalam berbicara maupun berperilaku– yang tidak wajar. dan ia menjadi tidak dapat berpikir logis untuk memutuskan sesuatu. Contohnya, ia mengambil keputusan untuk meninggalkan Augusten dengan keluarga Dr. Finch karena alasan yang tidak logis. Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa Dr. Finch tidak memerhatikan kesejahteraan atau welfare pasiennya.

5. Dalam ‘Ethical Standards APA’ Nomor 2 mengenai ‘Competence’ poin ke empat dan Nomor 9 mengenai ‘Assessment’ poin pertama, Psikolog atau Terapis harus menyatakan pernyataannya berdasarkan pengetahuan yang profesional dari disiplin ilmunya dan secara ilmiah, seperti berdasarkan rekomendasi, laporan, diagnosis, evaluasi, hasil forensik, informasi dan teknik yang digunakan untuk memperoleh informasi yang relevan. Namun ada beberapa miss atau cela yang dilakukan oleh oleh Dr. Finch saat melakukan praktik dalam menyampaikan statement-nya. Salah satu contohnya adalah saat Norman menolak untuk mengikuti jadwal sesi teapi-konseling 5 jam per hari yang dicanangkan oleh Dr. Finch. Lantas, Dr. Finch segera menulis dalam catatannya. Ketika Norman bertanya apa yang ia tulis, Dr. Finch menyatakan bahwa “Norman Burroughs punya niat bunuh diri. Seorang pecandu alkohol. Dia berbahaya, ancaman bagi dirinya, istri, dan anaknya.” Hal tersebut sangat tidak relevan, karena Dr. Finch tidak memiliki data apakah Norman memiliki motif untuk bunuh diri dan berniat untuk mengancam istri dan anaknya. Selain itu, Norman memang sering minum alkohol, namun ia tidak menjadi pecandu alkohol. Jadi, statement Dr. Finch banyak yang tidak berdasarkan data dari kliennya sendiri.

6. Masih dalam ‘Ethical Standards APA’ Nomor 2 mengenai ‘Competence’ poin ke empat dan Nomor 9 mengenai ‘Assessment’ poin pertama, yang perlu digarisbawahi adalah Psikolog atau Terapis harus menyatakan opini mengenai karakteristik psikologis seseorang hanya setelah berdasarkan dokumen hasil pemeriksaan psikologis yang reliable dan valid, untuk membuat kesimpulan atau rekomendasi. Kasus penyimpangan disini adalah saat sesi konseling Dr. Finch dengan Augusten, dimana Augusten tidak ingin sekolah karena merasa tidak cocok disana. Dr. Finch tidak menganalisis terlebih dahulu dinamika psikologis apa yang terjadi dalam diri Augusten sehingga ia bisa tidak mau sekolah. Tetapi Dr. Finch justru menyarankan hal yang mengejutkan. Ia menyatakan, “Satu-satunya jalan keluar bagimu untuk tak bersekolah cukup lama ialah kau melakukan bunuh diri.”

7. Meskipun telah disebutkan bahwa statement Dr. Finch banyak yang mengalami cela, namun tidak berarti semuanya tidak berdasarkan fakta. Sangat mengesankan ketika Dr. Finch menyatakan kepada Norman (saat sesi terapi-konseling perkawinan bersama Deirdre), “Norman, kau terjebak dalam masa kecilmu oleh seorang ibu pengebiri. Dan sebagai pria dewasa kau mencari tipe wanita yang sama.” Pernyataan Dr. Finch ini berdasarkan pada analisis Psikodinamis yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Dalam terapi, salah satu teknik yang bisa digunakan adalah Terapi Psikodinamis dengan menggunakan konstruk teori tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa Dr. Finch menggunakan Terapi Psikodinamis dengan melihat trauma dulu atau emosi yang hilang untuk memahami masa kini. Dan ia membuat pernyataan seperti itu dan bisa dinilai tepat dan sesuai.

8. Disebutkan dalam ‘Ethical Standards APA’ Nomor 4 mengenai ‘Privacy and Confidentiality’ poin keempat tentang ‘Recording’, Terapis harus meminta izin dari pasiennya, murid, atau subjek penelitiannya, sebelum ia merekam suara atau gambar individu tersebut yang Terapis berikan pelayanan. Dalam salah satu praktiknya, Dr. Finch merekam suara pasiennya saat sesi terapi berlangsung. Contohnya, ketika Dr. Finch datang ke rumah Deirdre untuk memberikan terapi-konsultasi bagi Deirdre yang sedang kalut. Ia mengeluarkan alat perekam suara dan menaruhnya di hadapan Deirdre. Setelah menyampaikan informed consent pada Deirdre, Dr. Finch langsung memulai terapinya. Ia menyampaikan pertanyaan pembuka sembari menekan tombol On pada alat perekamnya. Berdasarkan hal ini, dapat dilihat miss atau kesalahan kecil dari Dr. Finch, ia tidak meminta izin terlebih dahulu pada pasiennya sebelum ia merekam suaranya.

9. Menurut ‘Ethical Standards APA’ Nomor 6 mengenai ‘Record Keeping and Fees’, disebutkan dalam poin ke empat ‘Fees and Financial Arrangement’ bahwa Psikolog atau Terapis tidak boleh salah dalam merepresentasikan biayanya. Selain itu juga disebutkan dalam poin ke enam ‘Accuracy in Reports to Payors and Funding Sources’ dimana Terapis harus bertanggung jawab dan memastikan pelaporan yang akurat atas jasa yang telah diberikan, biayanya, charge, dan pembayaran pada penerima jasanya/kliennya. Juga disebutkan dalam standar Nomor 10 mengenai ‘Therapy’ poin pertama tentang ‘Informed Consent to Therapy’, Terapis menginformasikan biaya terapi. Namun yang terjadi adalah Dr. Finch tidak mengungkapakan hal tersebut secara gamblang. Sehingga si klien secara tidak sadar tersedot uangnya karena ia harus datang terus dan terus pada tiap jadwal terapi yang sudah dibuat oleh Dr. Finch. Contoh kasusnya seperti yang dialami oleh Deirdre. Ia menyatakan sendiri bahwa Dr. Finch ‘mengambil’ uangnya karena ia diharuskan ikut sesi terapi terus menerus, namun tak membuahkan hasil.

10. Menurut ‘Ethical Standards APA’ Nomor 10 mengenai ‘Therapy’ poin pertama tentang ‘Informed Consent to Therapy’, Terapis menginformasikan klien/pasiennya mengenai bagaimana dan seperti apa selama sesi terapi. Dr. Finch terlihat melakukan hal tersebut dimana ia melakukan building rapport dan menyatakan informed consent tersebut pada klien/pasiennya pada fase awal sesi terapinya. Ia melakukan terapi-konseling sesuai prosedur dan –jika dibutuhkan– dengan alat bantu tertentu. Contoh kasusnya, saat Deirdre memanggil Dr. Finch ke rumahnya karena ia baru saja bertengkar hebat dengan suaminya, Norman. Setelah Deirdre agak sedikit tenang, Dr. Finch bersiap untuk memulai sesi terapi-konsultasinya. Ia mempersilakan Deirdre duduk dan mengusir Augusten secara halus. Kemudian, ia mulai berbicara. Ia membangun pemahaman Deirdre tentang apa yang akan dijalani selama terapi. Dr. Finch mengatakan, “Aku akan menanyakan sejumlah pertanyaan jika boleh. Mungkin agak pribadi dan tampak tak relevan. Tapi kuasa itu tergantung aku sebagai dokter untuk memutuskannya.” Ia mengeluarkan perlengkapan yang dibutuhkan, seperti pena, kertas catatan, dan alat perekam dan mulai menulis beberapa hal.

11. Menurut ‘Ethical Standards APA’ Nomor 10 mengenai ‘Therapy’ poin pertama tentang ‘Informed Consent to Therapy’, seorang Psikolog atau Terapis seharusnya memiliki perizinan untuk menjalankan praktik terapi. Namun, yang terjadi pada Dr. Finch adalah ketiadaannya izin praktik dan perpanjangan yang resmi. Hal ini terlihat dari indikasi pertama, yakni Dr. Finch tidak lagi menjalankan praktiknya di Rumah Sakit dan kantor praktik, tetapi terpaksa memindahkan tempat praktiknya ke rumahnya sendiri. Namun ternyata hal tersebut belum berakhir. Indikasi keduanya, Dr. Finch didatangi oleh petugas IRS, Michael Shepard, yang bertugas untuk memantau kerja dan tempat praktik Dr. Finch di rumahnya. Ternyata, Dr. Finch belum membayar dan mengurus perizinan yang resmi dan perpanjangannya dengan petugas IRS, sehingga Dr. Finch diberi memorandum bahwa izin praktiknya akan dicabut 6 bulan lagi. Cerita dalam film ini hanya selesai sampai sebelum izin Dr. Finch dicabut. Namun berdasarkan kisah nyatanya, selang beberapa bulan kemudian memang Dr. Finch terlibat masalah dengan pencabutan izin praktiknya.

12. Berdasarkan ‘Ethical Standards APA’ Nomor 10 mengenai ‘Therapy’ poin kedua tentang ‘Therapy Involving Couples or Families’ dinyatakan bahwa Terapis bertanggung jawab mengklarifikasikan secara jelas tentang informed consent, peran dan hubungan antar klien-klien dan terapis-klien, dan aturan yang ada selama terapi berlangsung. Namun yang dilakukan oleh Dr. Finch tidaklah sesuai dengan pasal tersebut. Ia hanya membuat konfrontasi dan storm pada kliennya. Contoh kasusnya pada saat terapi yang melibatkan pasangan suami-istri Norman dan Dirdre. Dr. Finch membuat kesimpulan semu bahwa “Norman adalah pria pemabuk yang mengancam istri dan anaknya dan mempunyai keinginan untuk bunuh diri” hanya karena Norman tidak menyepakati jadwal sesi terapi yang direncanakan Dr. Finch.

13. Masih senada dengan ‘Ethical Standards APA’ Nomor 10 mengenai ‘Therapy’ poin kedua tentang ‘Therapy Involving Couples or Families’, Terapis seharusnya menegaskan aturan yang ada selama terapi berlangsung. Misalnya klien dilarang merokok. Namun yang dilakukan oleh Dr. Finch adalah berbalik 180˚ dari aturan yang ia terapkan. Contoh kasusnya, “Merokok tidak diperbolehkan disini (ruang praktik), tapi untukmu akan kuizinkan” ujar Dr. Finch pada Deirdre saat sesi terapi perkawinan bersama Norman. Di sini terlihat adanya penetapan aturan yang tidak konsisten oleh Dr. Finch untuk sesi terapi yang dihandlenya.

14. Dalam ‘Ethical Standards APA’ Nomor 10 mengenai ‘Therapy’ juga disebutkan bagaimana aturan yang dibuat oleh Terapis mengenai jangka waktu atau berapa lama dan periode sesi akan berlangsung. Contoh kasusnya saat sesi terapi-konseling perkawinan yang melibatkan Norman dan Deirdre (poin kedua tentang ‘Therapy Involving Couples or Families’). Dr. Finch selaku terapi mereka menetapkan sesi terapi secara berkala bagi mereka untuk bisa mendapat kesimpulan apakah mereka akan berpisah atau tidak. Untuk itu, ia menetapkan sesi tersebut dengan lama waktu 5 jam sehari. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya Dr. Finch tidak langsung memutuskan saklak 5 jam sehari. Banyak pertimbangan yang sebelumnya harus ia lakukan. Salah satunya adalah mempertimbangkan kesediaan kliennya sendiri. Benar saja, sesaat setelah Dr. Finch menyatakan hal tersebut, Norman langsung menolaknya. Ia tidak bisa karena harus bekerja dan ia berpendapat bahwa waktu 5 jam sangatlah tidak logis dilakukan.

II. KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA DARI HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI): ANTARA KONSEP & PEMBAHASAN KASUS Dr. FINCH

A. KONSEP MENGENAI KODE ETIK HIMPSI (2005)
Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI) merupakan satu-satunya organisasi profesi psikologi di Indonesia, didirikan di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1959 dengan nama Ikatan Sarjana Psikologi, disingkat ISPsi. Sejalan dengan perubahan sistim pendidikan tinggi di Indonesia, melalui Kongres Luar Biasa pada tahun 1998 di Jakarta, organisasi ini mengubah nama menjadi Himpunan Psikologi Indonesia, disingkat Himpsi. Sebagai organisasi profesi, Himpsi merupakan wadah berhimpunnya profesional Psikologi (Sarjana Psikologi, Magister Psikologi, Doktor Psikologi dan Psikolog). Sejak tahun 2003, lulusan program pendidikan profesi psikologi sudah setara dengan jenjang Magister. Misi utama Himpsi adalah pengembangan keilmuan dan profesi psikologi di Indonesia. Saat ini Himpsi telah memiliki 23 wilayah di propinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota lebih dari 9.100 orang. Anggota Himpsi yang memiliki minat dan praktik yang sama telah bergabung dalam 12 buah organisasi Ikatan Minat / Asosiasi.

HIMPSI mengeluarkan Kode Etik bagi profesi Psikologi di Indonesia. Di dalamnya terdapat Kode Etik Psikologi Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia. Dalam Kode Etik Psikologi Indonesia terdapat Mukadimah, Bab (I – VII), Pasal (1 – 19), dan Penutup. Isi Kode Etik Psikologi Indonesia yang lebih jelas terdapat dalam halaman LAMPIRAN.

B. PEMBAHASAN KASUS Dr. FINCH BERDASARKAN KODE ETIK HIMPSI
1. Berdasarkan Pasal 8 mengenai Sikap Profesional dan Perlakuan terhadap Pemakai Jasa atau Klien, disebutkan bahwa Psikolog (Terapis) berkewajiban untuk melindungi dan memberitahu klien mengenai dampak negatif dan akibat yang merugikan dari jasa/praktik yang dilakukan. Dalam hal ini, Dr. Finch melakukan kesalahan yang kelihatannya kecil namun ternyata berdampak negatif. Telah disebutkan bahwa penanganan terapi yang ia lakukan adalah dengan menggunakan obat-obatan, salah satunya pil valium untuk menenangkan saraf. Ia memberikan treatment tersebut pada pasiennya, namun ia tidak memberitahu pasiennya mengenai dampak yang ditimbulkan. Efek negatif pil valium tersebut membuat pasien mengalami ketenangan yang tidak wajar, tidak dapat berpikir jernih, ucapan menjadi lambat, dan mengawang-awang. Sebaliknya, terlihat bahwa Dr. Finch memanfaatkan dan memanipulasi kondisi pasca pasien meminum pil valium tersebut. Contoh kasusnya, saat Deirdre datang ke rumah Dr. Finch untuk menjalankan sesi terapi rutin bersama anaknya. Setelah Dr. Finch memberinya pil valium, Deirdre menjadi tenang yang tidak wajar. Dr. Finch mengatakan bahwa sebaiknya Deirdre tinggal sendiri saja untuk jangka waktu dekat ini. Hal ini ‘menyetir’ Deirdre untuk mengambil keputusan yang tidak logis. Indikasi di atas menandakan bahwa Dr. Finch tidak melindungi pasiennya dari akibat yang merugikan sebagai damapak praktik yang dilakukannya.

2. Berdasarkan Pasal 9 mengenai Asas Kesediaan, Psikolog atau Terapis wajib menghormati dan menghargai hak klien untuk menolak keterlibatannya dalam praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses praktik psikologi. Namun yang dilakukan Dr. Finch justru berbalik 180˚ dari hal tersebut pada salah satu praktik terapinya. Contoh kasusnya, saat ia menjadwalkan pertemuan dengan Augusten Burroughs –setelah ia mengetahui bahwa Augusten menjalin ‘hubungan’ yang tidak lazim dengan Neil Bookman– untuk sebuah sesi konseling. Augusten menolak karena ia merasa tidak memerlukan sesi tersebut. Namun Dr. Finch tetap menjalankan sesi tersebut untuk mengkonfrontasi Augusten mengenai hubungannya dengan Neil. Hal ini menunjukkan bahwa Dr. Finch tidak mengindahkan asas kesediaan tersebut dan tidak menghargai hak klien untuk menolak keterlibatannya dalam praktik psikologi.

3. Berdasarkan Pasal 17 mengenai Pelanggaran, disebutkan bahwa setiap penyalahgunaan wewenang di bidang keahlian Psikologi dan setiap pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi organisasi oleh aparat oraganisasi yang berwenang sebagaimana diatur dalam AD dan ART. Telah disebutkan bahwa Dr. Finch melakukan penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap kode etik, maka ia pun mendapatkan sanksi yang paling tegas, yaitu pencabutan izin praktik. Ia terbukti bersalah atas tuduhan penipuan asuransi.

4. Pembahasan yang berikut ini memang tidak berhubungan dengan kode etik HIMPSI, namun masih termasuk dalam bahasan HIMPSI yakni mengenai Standar Pelayanan Jasa Psikologi. Dalam Standar Pelayanan Jasa meliputi aturan praktik yang membahas tentang sarana fisik. Sarana fisik yang dibahas ialah mengenai ruang konsultasi. Ruang konsultasi seharusnya tidak ada hiasan, sifatnya terpisah dengan ruangan-ruangan lain, warna dinding seputar putih, ukuran 2 m2 per orang, dan dilengkapi sarana minimal meja dan kursi. Namun berdasarkan hasil pengamatan dalam film saat adegan sesi terapi Dr. Finch di ruangan praktiknya bersama para pasiennya, saran fisik yang tersedia melewati batas standar sarana fisik yang ditentukan. Dari segi pencahayaan sangat kurang karena kondisi di ruangan tersebut remang-remang. Hal ini tidak baik bagi klien karena menimbulkan kesan suram. Dari segi hiasan atau perabotan yang ada, di ruang praktik Dr. Finch justru terdapat banyak sekali perabotan, apalagi di meja yang berada antara terapis dank lien. Hal ini dapat mengganggu berlangsungnya sesi terapi-konsultasi, misalnya klien merasa risih dengan banyaknya perabotan atau hiasan tersebut. Warna dinding di ruangan tempat praktik Dr. Finch dominan cokelat tua. Hal ini dapat menimbulkan kesan suram, sendu, dan membuat susah konsentrasi. Selain itu tata letak sarananya kurang begitu baik. Terdapat pintu yang berada di samping tempat duduk terapis dan dapat dilihat langsung oleh klien. Seharusnya pintu tersebut tidak berada disitu karena dapat mengganggu konsentrasi klien. Hal ini terbukti pada saat sesi terapi-konsultasi keluarga bersama Deirdre dan Augusten. Ketika Dr. Finch bertanya pada Augusten, “Ada pertanyaan soal pernikahan orang tuamu?” Augusten justru bertanya, “Ada apa di balik pintu itu?” Hal ini mengindikasikan bahwa pasien menjadi teralihkan konsentrasinya pada pintu tersebut, bukan pada sesi terapinya.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis kasus praktik yang dilakukan Dr. Finch dengan Kode Etik APA maupun HIMPSI, dapat disimpulkan bahwa Dr. Finch telah melakukan pelanggaran terhadap etika dan hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan pernyataan terakhir pada ending film ‘Running with Scissors’ yang menyatakan bahwa Dr. Finch kehilangan izin praktiknya setelah American Medical Association (AMA) mendapati ia bersalah atas tuduhan penipuan asuransi. Dr. Finch pun meninddal akibat penyakit jantung pada tahun 2000.

No comments:

Post a Comment